Setelah ditunjuk menjadi
Pimpinan Eksekutif di Porsche (salah satu produsen mobil terkenal),
pada tahun 1992, disaat Porsche sedang menuju jurang kebangkrutan,
Wendelin Wiedeking langsung mengajak kelompok Shin-Gijutsu, yang
merupakan para ahli teknik yang telah dikader oleh Toyota untuk
mengelola dan membenahi sistim yang ada di pabrik Porsche. Dengan
bantuan dari para ahli teknik Jepang, waktu untuk melakukan perakitan
berhasil diturunkan dari 120 jam menjadi 72 jam. Jumlah kesalahan pada
setiap pembuatan mobil turun 50 % menjadi hanya 3 kesalahan per mobil.
Jumlah tenaga kerja menurun sebesar 19 % menjadi 6.800 orang, dari lebih
dari 8.400 orang di tahun 1992. Jumlah "line production" telah berhasil
diperpendek . Begitu pula dengan jumlah inventori yang telah berkurang,
membuat ruang yang digunakan di pabrik menjadi lebih kecil sebesar 30
%. Perubahan-perubahan tersebut di atas telah membuat Porsche berhasil
memproduksi mobil dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan
sebelumnya. Dampaknya, pertama kali dalam 4 tahun terakhir, perusahaan
melaporkan keuntungan, setelah sebelumnya merugi sebesar 300 Juta Dolar
Amerika.
Hal yang menarik yang mungkin ingin
kita ketahui dari ilustrasi cerita di atas adalah, cara efektif yang
berhasil diterapkan oleh para ahli teknik Jepang untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi oleh Porsche, dan kemudian merubahnya menjadi
sebuah keuntungan. Secara umum yang dilakukan oleh ahli teknik Jepang
adalah dengan membentuk kelompok kerja yang berbeda yang menerapkan
prinsip-prinsip pemecahan masalah secara ilmiah untuk menganalisa
situasi yang terjadi, membuat rencana perbaikan secara kreatif, dan
menerapkan rencana perbaikan melalui proses pengawasan kualitas.
Ilustrasi di atas yang dikutip
dari tulisan Phillip L Hunsaker tentang Pemecahan Masalah Secara Kreatif
(2005) , menunjukkan kepada kita bahwa proses penyelesaian masalah
secara efektif akan dapat membantu sebuah organisasi keluar dari kemelut
keuangan yang mereka hadapi, dan merubahnya menjadi sebuah kesempatan
yang menguntungkan. Tanpa penanganan yang benar saat itu, bukan tidak
mungkin Porsche mengalami kebangkrutan total, dan tidak pernah terdengar
lagi dalam industri kendaraan bermotor. Peristiwa yang terjadi pada
Porshce bukan tidak mungkin terjadi pada organisasi lainnya, organisasi
tempat kita bekerja saat ini atau pada diri kita sendiri. Kemampuan kita
dalam melakukan pemecahan masalah secara analitis dan kreatif menjadi
salah satu kunci agar kita dapat keluar dari masalah yang kita hadapi,
dan mencapai kesuksesan dalam bisnis, maupun karir kita.
Pemecahan Masalah Secara Analitis dan Kreatif
Pemecahan masalah didefinisikan
sebagai suatu proses penghilangan perbedaan atau ketidak-sesuaian yang
terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil yang diinginkan (Hunsaker,
2005). Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah
pengambilan keputusan (decision making), yang didefinisikan sebagai
memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia (Hunsaker,
2005). Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan mempengaruhi
kualitas hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan.
Kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah adalah
ketrampilan yang dibutuhkan oleh hampir semua orang dalam setiap aspek
kehidupannya. Jarang sekali seseorang tidak menghadapi masalah dalam
kehidupannya sehari-hari. Pekerjaan seorang manajer, secara khusus,
merupakan pekerjaan yang mengandung unsur pemecahan masalah di dalamnya.
Bila tidak ada masalah di dalam banyak organisasi, mungkin tidak akan
muncul kebutuhan untuk mempekerjakan para manajer. Untuk itulah sulit
untuk dapat diterima bila seorang yang tidak memiliki kompetensi untuk
menyelesaikan masalah, menjadi seorang manajer (Whetten & Cameron,
2002).
Ungkapan di atas memberikan gambaran yang jelas
kepada kita semua bahwa sulit untuk menghindarkan diri kita dari
masalah, karena masalah telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam kehidupan kita, baik kehidupan sosial, maupun kehidupan
profesional kita. Untuk itulah penguasaan atas metode pemecahan masalah
menjadi sangat penting, agar kita terhindar dari tindakan Jump to
conclusion, yaitu proses penarikan kesimpulan terhadap suatu masalah
tanpa melalui proses analisa masalah secara benar, serta didukung oleh
bukti-bukti atau informasi yang akurat. Ada kecenderungan bahwa
orang-orang, termasuk para manajer mempunyai kecenderungan alamiah untuk
memilih solusi pertama yang masuk akal yang muncul dalam benak mereka
(March & Simon, 1958; March, 1994; Koopman, Broekhuijsen, &
Weirdsma, 1998). Sayangnya, pilihan pertama yang mereka ambil seringkali
bukanlah solusi terbaik. Secara tipikal, dalam pemecahan masalah,
kebanyakan orang menerapkan solusi yang kurang dapat diterima atau
kurang memuaskan, dibanding solusi yang optimal atau yang ideal (Whetten
& Cameron, 2002). Pemecahan masalah yang tidak optimal ini, bukan
tidak mungkin dapat memunculkan masalah baru yang lebih rumit
dibandingkan dengan masalah awal.
Pemecahan masalah dapat dilakukan melalui dua metode
yang berbeda, yaitu analitis dan kreatif. Untuk dapat memberikan
gambaran yang lebih baik tentang pemecahan masalah secara analitis dan
kreatif, serta perbedaan-perbedaan yang ada diantara keduanya, maka pada
bagian berikut , saya akan menjelaskan secara singkat hal tersebut di
atas.
I. Pemecahan Masalah Secara Analitis
Metode penyelesaian masalah
secara analitis merupakan pendekatan yang cukup terkenal dan digunakan
oleh banyak perusahaan, serta menjadi inti dari gerakan peningkatan
kualitas (quality improvement). Secara luas dapat diterima bahwa untuk
meningkatan kualitas individu dan organisasi, langkah penting yang perlu
dilakukan adalah mempelajari dan menerapkan metode pemecahan masalah
secara analitis (Juran, 1988; Ichikawa, 1986; Riley, 1998). Banyak
organisasi besar (misalnya : Ford Motor Company, General Electric, Dana)
menghabiskan jutaan Dolar untuk mendidik para manajer mereka tentang
metode pemecahan masalah ini sebagai bagian dari proses peningkatan
kualitas yang ada di organisasi mereka (Whetten & Cameron, 2002).
Pelatihan ini penting agar para manajer dapat berfungsi efektif, yang
salah satu cirinya adalah pada kemampuannya untuk memecahkan masalah.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari Hunsaker (2005) yang menyatakan
bahwa manajer yang efektif, seperti halnya Pemimpin Eksekutif Porsche,
Wendelin Wiedeking, mengetahui cara mengumpulkan dan mengevaluasi
informasi yang dapat menerangkan tentang masalah yang terjadi,
mengetahui manfaatnya bila kita memiliki lebih dari satu alternatif
pemecahan masalah, dan memberikan bobot kepada semua implikasi yang
dapat terjadi dari sebuah rencana, sebelum menerapkan rencana yang
bersangkutan.
A. Definisikan Masalah
Langkah pertama yang perlu
dilakukan dengan metode analitis adalah mendefinisikan masalah yang
terjadi. Pada tahap ini, kita perlu melakukan diagnosis terhadap sebuah
situasi, peristiwa atau kejadian, untuk memfokuskan perhatian kita pada
masalah sebenarnya, dan bukan pada gejala-gejala yang muncul. Sebagai
contoh : Seorang manajer yang mempunyai masalah dengan staf-nya yang
kerapkali tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya pada waktu yang telah
ditentukan. Masalah ini bisa terjadi karena, cara kerja yang lambat dari
staf yang bersangkutan. Cara kerja yang lambat, bisa saja hanya sebuah
gejala dari permasalahan yang lebih mendasar lagi, seperti misalnya
masalah kesehatan, moral kerja yang rendah, kurangnya pelatihan atau
kurang efektifnya proses kepemimpinan yang ada.
Agar kita dapat memfokuskan
perhatian kita pada masalah sebenarnya, dan bukan pada gejala-gejala
yang muncul, maka dalam proses mendefiniskan suatu masalah, diperlukan
upaya untuk mencari informasi yang diperlukan sebanyak-banyaknya, agar
masalah dapat didefinisikan dengan tepat.
Berikut ini adalah beberapa karakteristik dari pendefinisian masalah yang baik:
- Fakta dipisahkan dari opini atau spekulasi. Data objektif dipisahkan dari persepsi
- Semua pihak yang terlibat diperlakukan sebagai sumber informasi
- Masalah harus dinyatakan secara eksplisit/tegas. Hal ini seringkali dapat menghindarkan kita dari pembuatan definisi yang tidak jelas
- Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas adanya ketidak-sesuaian antara standar atau harapan yang telah ditetapkan sebelumnya dan kenyataan yang terjadi.
- Definisi yang dibuat harus menyatakan dengan jelas, pihak-pihak yang terkait atau berkepentingan dengan terjadinya masalah.
- Definisi yang dibuat bukanlah seperti sebuah solusi yang samar. Contoh: Masalah yang kita hadapi adalah melatih staf yang bekerja lamban.
B. Buat Alternatif Pemecahan Masalah.
Langkah kedua yang perlu kita lakukan
adalah membuat alternatif penyelesaian masalah. Pada tahap ini, kita
diharapkan dapat menunda untuk memilih hanya satu solusi, sebelum
alternatif solusi-solusi yang ada diusulkan. Penelitian-penelitian yang
pernah dilakukan dalam kaitannya dengan pemecahan masalah (contohnya
oleh March, 1999) mendukung pandangan bahwa kualitas solusi-solusi yang
dihasilkan akan lebih baik bila mempertimbangkan berbagai alternatif
(Whetten & Cameron, 2002).
Berikut adalah karakteristik-karakteristik dari pembuatan alternatif masalah yang baik:
- Semua alternatif yang ada sebaiknya diusulkan dan dikemukakan terlebih dahulu sebelum kemudian dilakukannya evaluasi terhadap mereka.
- Alternatif-alternatif yang ada, diusulkan oleh semua orang yang terlibat dalam penyelesaian masalah. Semakin banyaknya orang yang mengusulkan alternatif, dapat meningkatkan kualitas solusi dan penerimaaan kelompok.
- Alternatif-alternatif yang diusulkan harus sejalan dengan tujuan atau kebijakan organisasi. Kritik dapat menjadi penghambat baik terhadap proses organisasi maupun proses pembuatan alternatif pemecahan masalah.
- Alternatif-alternatif yang diusulkan perlu mempertimbangkan konsekuensi yang muncul dalam jangka pendek, maupun jangka panjang.
- Alternatif–alternatif yang ada saling melengkapi satu dengan lainnya. Gagasan yang kurang menarik , bisa menjadi gagasan yang menarik bila dikombinasikan dengan gagasan-gagasan lainnya. Contoh : Pengurangan jumlah tenaga kerja, namun kepada karyawan yang terkena dampak diberikan paket kompensasi yang menarik.
- Alternatif-alternatif yang diusulkan harus dapat menyelesaikan masalah yang telah didefinisikan dengan baik. Masalah lainnya yang muncul, mungkin juga penting. Namun dapat diabaikan bila, tidak secara langsung mempengaruhi pemecahan masalah utama yang sedang terjadi.
C. Evaluasi Alternatif-Alternatif Pemecahan Masalah
Langkah ketiga dalam proses
pemecahan masalah adalah melakukan evaluasi terhadap
alternatif-alternatif yang diusulkan atau tersedia. Dalam tahap ini ,
kita perlu berhati-hati dalam memberikan bobot terhadap keuntungan dan
kerugian dari masing-masing alternatif yang ada, sebelum membuat pilihan
akhir. Seorang yang terampil dalam melakukan pemecahan masalah, akan
memastikan bahwa dalam memilih alternatif-alternatif yang ada dinilai
berdasarkan:
- Tingkat kemungkinannya untuk dapat menyelesaikan masalah tanpa menyebabkan terjadinya masalah lain yang tidak diperkirakan sebelumnya.
- Tingkat penerimaan dari semua orang yang terlibat di dalamnya
- Tingkat kemungkinan penerapannya
- Tingkat kesesuaiannya dengan batasan-batasan yang ada di dalam organisasi; misalnya budget, kebijakan perusahaan, dll.
Berikut adalah karakteristik-karakteristik dari evaluasi alternatif-alternatif pemecahan masalah yang baik:
- Alternatif- alternatif yang ada dinilai secara relatif berdasarkan suatu standar yang optimal, dan bukan sekedar standar yang memuaskan
- penilaian terhadap alternative-alternatif yang ada dilakukan secara sistematis, sehingga semua alternatif yang diusulkan akan dipertimbangkan,
- Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan tujuan organisasi dan mempertimbangkan preferensi dari orang-orang yang terlibat didalamnya.
- Alternatif-alternatif yang ada dinilai berdasarkan dampak yang mungkin ditimbulkannya, baik secara langsung, maupun tidak langsung
- Alternatif yang paling dipilih dinyatakan secara eksplisit/tegas.
D. Terapkan Solusi dan Tindak- Lanjuti
Langkah terakhir dari metode
ini adalah menerapkan dan menindak-lanjuti solusi yang telah diambil.
Dalam upaya menerapkan berbagai solusi terhadap suatu masalah, kita
perlu lebih sensitif terhadap kemungkinan terjadinya resistensi dari
orang-orang yang mungkin terkena dampak dari penerapan tersebut. Hampir
pada semua perubahan, terjadi resistensi. Karena itulah seorang yang
piawai dalam melakukan pemecahan masalah akan secara hati-hati memilih
strategi yang akan meningkatkan kemungkinan penerimaan terhadap solusi
pemecahan masalah oleh orang-orang yang terkena dampak dan kemungkinan
penerapan sepenuhnya dari solusi yang bersangkutan (Whetten &
Cameron, 2002).
Berikut adalah karakteristik dari penerapan dan langkah tindak lanjut yang efektif:
- Penerapan solusi dilakukan pada saat yang tepat dan dalam urutan yang benar. Penerapan tidak mengabaikan faktor-faktor yang membatasi dan tidak akan terjadi sebelum tahap 1, 2, dan 3 dalam proses pemecahan masalah dilakukan.
- Penerapan solusi dilakukan dengan menggunakan strategi "sedikit-demi sedikit" dengan tujuan untuk meminimalkan terjadinya resistensi dan meningkatkan dukungan.
- Proses penerapan solusi meliputi juga proses pemberian umpan balik. Berhasil tidaknya penerapan solusi, harus dikomunikasikan , sehingga terjadi proses pertukaran informasi
- Keterlibatan dari orang-orang yang akan terkena dampak dari penerapan solusi dianjurkan dengan tujuan untuk membangun dukungan dan komitmen
- Adanya sistim monitoring yang dapat memantau penerapan solusi secara berkesinambungan. Dampak jangka pendek, maupun jangka panjang diukur.
- Penilaian terhadap keberhasilan penerapan solusi didasarkan atas terselesaikannya masalah yang dihadapi, bukan karena adanya manfaat lain yang diperoleh dengan adanya penerapan solusi ini. Sebuah solusi tidak dapat dianggap berhasil bila masalah yang menjadi pertimbangan yang utama tidak terselesaikan dengan baik, walaupun mungkin muncul dampak positif lainnya.
No comments:
Post a Comment