Dalam bukunya "Only The Paranoid Survive" (Currency
New York: 1996), Andy Grove menceritakan banyak hal tentang lingkungan
bisnis, keputusan dan eksekusi yang dijalankan sehubungan dengan
posisinya sebagai CEO dari Intel Co. Langkah Grove mengubah core business dari chip memory ke microprocessor
dinilai banyak pihak sebagai kesuksesan bertindak. Sebelumnya, Intel
dihadapkan pada banyak dilemma menghadapi serangan produk Jepang yang
telah lebih dulu menguasai pasar chip memory di samping juga dilihat dari resource usaha, manufaktur Jepang itu lebih kuat.
Saat itu Grove menghadapi tiga pilihan yang sama-sama tidak mudah. Pilihan pertama berupa "low cost strategy".
Kalau ingin mengalahkan perusahaan Jepang, Intel harus banting harga.
Pilihan kedua, kalau tidak sanggup banting harga, Intel harus bermain
dalam ceruk pasar yang kecil, "Niche Market strategy". Inipun tidak gampang karena konsekuensinya berupa tuntutan pada stabilitas dan margin profit.
Ketiga, innovasi produk. Kalau ingin menang, tuntutannya berupa
memperbaiki produk supaya lebih terjangkau oleh pasar dengan kualitas
lebih dan, yang paling penting, tidak gampang ditiru oleh manufaktur
Jepang.
Intel akhirnya memilih pilihan ketiga. Pilihan tersebut ternyata tepat sehingga kemudian mengantarkan Grove dinobatkan "Man of the year" versi
Time magazine, 1997. Inovasi Intel menurut pendapat Grove diawali dari
keberanian eksperimentasi dan fleksibilitas dalam menjalankan perubahan
produk. Saat itu dinilai tidak cukup bagi Intel hanya mengandalkan
strategi "clear vision" dan "stable" tetapi perlu mengubah konsep berpikir. Seperti diakui Grove: "If company is experiencing rigidity in thinking and resistance to change, that company will not survive in high speed global market place".
Belajar
dari langkah Grove yang memulai kesuksesannya dengan menggunakan kata
kunci inovasi, rasanya tidak salah kalau kata kunci itu kita gunakan
untuk mengawali kesuksesan dalam konteks pengembangan diri.
Kenyataannya, sekedar
inovasi semata sudah tak terhitung yang memahami dan mempraktekkannya
baik di tingkat organisasi atau pribadi, tetapi kebanyakan mandul
atau gagal. Lalu agar tidak gagal, format pemahaman inovasi
seperti apakah yang mestinya digunakan?
Menyeluruh
Kasarnya,
bicara ide cemerlang tentu dapat ditemukan di kepala banyak orang atau
organisasi, tetapi inovasi tidak berhenti pada ide cemerlang. Tidak pula
berupa tindakan yang semata-mata berbeda dengan orang lain sebab
inovasi bukan sebuah konsep tunggal dalam arti berubah hanya untuk
sekedar berubah (change for the sake of change). Inovasi yang
sesungguhnya adalah inovasi yang dipahami sebagai pelaksanaan konsep
secara menyeluruh mencakup komponen dan segmennya. Mengacu pada
pendapat Beth Webster dalam "Innovation: we know we need it but how do we do it"
(Harbridge Consulting Group: 1990), inovasi adalah menemukan atau
mengubah materi pekerjaan atau cara menyelesaikan pekerjaan secara lebih
baik. Dengan definisi ini inovasi mengandung dua komponen: yaitu
penemuan (invention), dan pelaksanaan (implementation), dimana pada tiap komponen terdiri atas empat segmen:
-
Kreativitas - Generating new ideas
-
Visi - Knowing where you want to get with it
-
Komitmen - Mobilizing to get there
-
Manajamen - Planning and working to get there
Menjalankan
inovasi diawali dari eksplorasi untuk menemukan sesuatu yang baru dalam
bentuk yang lebih tanpa meninggalkan perangkat lama yang masih baik.
Tidak berhenti pada menemukan ide lebih baik, inovasi menuntut langkah
berikutnya berupa pelaksanaan uji-realitas. Dalam kasus Intel, Grove
menamakannya dengan istilah keberanian eksperimen. Pantas diberi
embel-embel keberanian karena eksperimentasi punya resiko paling tinggi
terhadap kegagalan sehingga dalam prakteknya banyak orang mengatakan
TIDAK terhadap inovasi karena rasa takut menerima resiko itu.
Selain resiko kegagalan, hambatan di tingkat
konsep, praktek, strategi, tekhnis, diri sendiri dan orang lain
juga kerap muncul. Untuk menciptakan solusi yang dibutuhkan, maka
kreativitas para innovator berperan. Kreativitas solusi ini diwujudkan
dalam bentuk jumlah alternatif solusi terhadap situasi dengan cara
mengubah, mengkombinasikan, mengindentifikasi celah destruktif dari
sesuatu yang sudah mapan (established). Menurut riset ilmiah,
kuantitas solusi alternatif punya korelasi dengan kualitas solusi. Jadi
kreativitas bertumpu pada kemampuan memiliki pola baru dalam
melihat hubungan antar obyek yang dilahirkan dari sudut
pandang adanya "possibility", dan mempertanyakan
sesuatu untuk memperoleh jawaban lebih baik. Seorang pakar
kreativitas, Arthur Koestler, mengatakan: "Every creative act involve a new innocent of perception, liberated from cataract of accepted belief".
Dalam menjalankan kreativitas menciptakan solusi,
innovator perlu memiliki kemampuan menyalakan lampu petunjuk yaitu
visi - having clear sense of direction. Artinya, bentuk
inovasi seperti apakah yang dilihat secara jelas oleh imajinasi
innovator? Semakin jelas padanan fisik dari tujuan inovasi bisa
disaksikan oleh penglihatan mental, maka akan semakin menjadi obyek yang
satu atau utuh. Kembali pada pengetahuan tentang pikiran yang baru akan
bekerja kalau difokuskan pada obyek utuh, kalau obyeknya masih terpecah
tidak karuan, dengan sendirinya pikiran memilih untuk diam atau kacau.
Bagaimana mengutuhkan obyek sasaran dalam kaitan dengan kemampuan
visualisasi ini?
Merujuk pada pendapat Shakti Gawain dalam "Creative Visualization"
(Creating Strategies Inc.: 2002), para innovator perlu melewati empat
tahapan proses untuk menajamkan visinya, yaitu:
-
Memiliki tujuan yang jelas
-
Memiliki potret mental yang jelas dari sebuah obyek yang diinginkan
-
Memiliki ketahanan konsentrasi terhadap obyek atau tujuan
-
Memiliki energi, pikiran, keyakinan positif
Di atas dari semua komponen dan segmen di atas, roh dari inovasi adalah komitmen yang membedakan antara "make or let things happen". Inovasi menuntut komitmen pada "make", bukan membiarkan ide cemerlang menemukan jalannya sendiri di lapangan. Komitmen adalah menolak berbagai macam "excuses" yang tidak diperlukan oleh inovasi. The show must go on. Mengutip pendapat Ralp Marlstone tentang komitmen dikatakan: "Anda tidak bisa menciptakan 'living' hanya dengan ide, kreativitas, visi, melainkan 'you must live' WITH them". Senada dengan Ralp, Joel Barker mengatakan "Vision WITH action can change the world".
Menjalankan ide innovative sebagai pemahaman
komprehensif menuntut aplikasi prinsip manajemen yang berarti
menggunakan sumber daya di luar kita sebagai kekuatan berdasarkan keseimbangan riil antara size of planning dan ability of working.
Tanpa aplikasi manajemen, sumber daya yang berlimpah di luar sana bisa
tidak berguna atau malah menjadi penghambat atau sia-sia. Salah satu
keahlian manajemen adalah komunikasi. Tak terbayangkan kalau kerjasama
apapun tidak diimbangi dengan kemampuan komunikasi yang dibutuhkan.
Contoh lain yang menggambarkan pentingnya keseimbangan dalam
menjalankan inovasi adalah fenomena kekecewaan atau
kegagalan proposal kerja sama. Dari sudut gagasan, kreativitas, visi,
semuanya cemerlang. Tetapi begitu disepakati untuk dijalankan, ternyata
masih banyak celah lobang yang belum atau masih di luar kapasitas
masing-masing pihak menciptakan solusi. Atau dengan kata lain lebih gede
planning for success ketimbang ability of working for success.
Alasan
Menemukan alasan mengapa kita merasa perlu untuk menjalankan ide innovative
untuk memperbaiki kehidupan pribadi atau organisasi merupakan bagian
penting dari inovasi itu sebelum dijalankan. Sebagian dari alasan itu
antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Perubahan
Dunia ini tidak akan berbeda dengan perubahan yang secara take for granted
akan terjadi. Setiap perubahan eksternal menuntut ketepatan memilih
respon yang tepat di tingkat internal. Inilah pilihan dari pemahaman
hidup yang harus dipegang. Sayangnya sering ditemukan bahwa orang
lebih tertarik untuk membicarakan kemajuan yang diciptakan perubahan
dunia luar tanpa dibarengi dengan keingian kuat untuk mengubah diri.
Sikap resistance to change yang membabi buta ini pada giliran tertentu akan mengantarkan pada posisi sebagai korban perubahan zaman atau tidak mendapat benefit dari kemajuan.
Contoh sepele adalah penguasaan bahasa asing,
katakanlah bahasa Inggris. Dahulu menjadi rukun profesi dalam arti
bagian atau rungan tersendiri dari sebuah profesi. Tetapi sekarang tidak
bisa dipungkiri telah menjadi syarat masuk pintu gerbang yang
berarti harus dimiliki oleh semua calon profesi. Mengantisipasi tuntutan
perubahan dunia luar,langkah penyelamat yang menjamin adalah mendirikan
lembaga learning di dalam diri kita. Materinya bisa diadopsi
dari mana saja tergantung kebutuhan dan kemampuan berdasarkan tuntutan
lingkungan di mana kita berada.
2. Keterbatasan
Melakukan
inovasi diri harus diberangkatkan dari pemahaman bahwa manusia memiliki
kemampuan tak terbatas kecuali batasan yang diciptakan sendiri (self-fulfilling prophecy).
Kaitannya dengan inovasi adalah, kemampuan kita merupakan garis
pembatas pigura hidup, dan inovasi dibutuhkan dalam rangka memperluas
garis pembatas pigora itu. Selain dibutuhkan pemahaman dari dalam juga
tidak kalah penting peranan "pil" pemahaman yang disuntikkan oleh pihak
luar, meskipun dalam bentuk tawaran memilih. Praktekknya tidak sedikit
orang yang meyakini wilayah ‘pigura hidup’-nya bertambah setelah
minum pil pemahaman dari sosok yang diyakini lebih terpercaya, misalnya
saja paranormal, dukun, penasehat, konsultan, sahabat karib, dll.
Pil pemahaman dari luar inilah yang oleh Dale Carnegie disebut Kelompok Ahli Pikir. Selama pil yang diberikan berupa pil miracle,
tentu saja akan sangat dibutuhkan sebab secara alami orang sangat
sensitif terhadap pemahaman orang lain tentang dirinya. Justru yang
patut disayangkan adalah kalau pil itu berupa stigma killer lalu
diterima mentah-mentah, misalnya saja: pasti gagal, rasanya sulit,
kayaknya tidak mungkin dll. Oleh karena itu Mark Twain berpesan:
"Jauhkan diri anda dari kelompok orang atau komunitas yang membuat
ambisi anda menurun yang biasanya dilakukan oleh pribadi yang kerdil".
3. Kesenjangan
Alasan
lain mengapa inovasi dibutuhkan adalah kenyataan alamiah berupa
terjadinya kesenjangan antara alam idealitas dan realitas. Wujud
pengakuan fakta alamiah itu harus dibuktikan dengan perbaikan di tingkat
realitas dan perubahan format alam idealitas. Seperti kata pepatah,
"Gantungkan cita-citamu di langit tetapi jangan lupa kakimu menginjakkan
bumi". Maksudnya, terus ciptakan standard yang lebih tinggi dari yang
optimal bisa diraih. Bisa dibayangkan, seandainya semua manusia cukup
"berpuas-diri", dengan apa yang ada dalam pengertian 'low quality', maka pasti kemajuan sulit diciptakan. Selain itu akan memudahkan orang terkena virus putus asa, berpikir only one answer, bersikap perfectionist yang berarti bertentangan dengan prinsip dasar inovasi.
Sulit dielakkan, kenyataannya terdapat
kecenderungan budaya konformitas berupa ketakutan psikologis untuk
bercita-cita tinggi yang dijustifikasi oleh pola berpikir realistik yang
keliru dalam arti tidak mencerminkan semangat pengembangan diri ke arah
lebih baik. Mestinya, berpikir realistik diartikan menginjak di atas
realitas, tidak sebaliknya hidup di dalam realitas. Didasarkan pada
pemahaman yang berbeda ini maka terjadi kenyataan yang berbeda.
Kendaraan yang berjalan di atas jalan raya dapat diarahkan kemana pun
tetapi ketika terperosok di dalam lumpur, pilihannya hanya dientaskan ke
atas.
Perlu
dicatat bahwa semua alasan yang sudah disebutkan di atas didasarkan
pada: 1) perspektif bahwa hidup adalah proses; dan 2) menjalankan Learning Principle yang merupakan upaya untuk mengembangkan kemampuan dari asset potential menjadi asset aktual. Oleh karena itu alasan
personal lain, apapun yang kita miliki, tuntutan paling penting tetap
pada menemukan alasan yang punya korelasi kuat terhadap tindakan yang
memiliki akses pada perubahan situasi. Begitu situasi sudah dapat diubah
menjadi lebih baik berarti kita sudah melangkahkan kaki pada tujuan
akhir dari inovasi yang berarti awal untuk memulai perubahan lain ke
arah yang bertambah baik. That is the process. Semoga berguna.
No comments:
Post a Comment