Sunday, March 17, 2013

Pendidikan, Perempuan dan Pandangan Masyarakat



Pendidikan
Secara umum, sebagian orangtua di Indonesia sudah mulai sadar akan pentingnya sekolah bagi putra dan putri mereka. Namun apakah sebenarnya tujuan serta harapan para orangtua memberi kesempatan putra dan putrinya bersekolah? Menjadi orang yang mandiri, pandai, berwawasan luas, atau agar kelak bisa memimpin sebuah perusahaan raksasa, bertitel sarjana, mengangkat status orangtua dan keluarga, atau...?
Bagaimana jika sang anak yang telah susah payah disekolahkan telah lulus dengan nilai memuaskan, namun tidak kunjung bekerja atau tidak bekerja sesuai dengan disiplin ilmu atau harapan orangtua? Kemudian bila sang anak adalah perempuan, memilih bekerja di luar kantor, atau murni menjadi ibu rumah tangga, bagaimana reaksi orangtua, juga masyarakat?
Pembicaraan tentang laki-laki dan pendidikan akan lebih jelas rangkaiannya, yaitu bekerja. Hal ini bukan berarti meremehkan dinamika yang terjadi didalamnya, namun konsekuensi itu terlihat lebih dominan dalam masyarakat.
Perempuan
Jumlah perempuan yang telah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi pada masa sekarang, tentu lebih banyak daripada masa 70-80 an. Seiring dengan terbukanya kesempatan itu, terbentang pula harapan dan angan-angan yang mungkin diraih. Sebagian perempuan telah bercita-cita bekerja di kantor dan meniti karir, sebagian tidak ingin terikat oleh ruang dan waktu di belakang meja, sebagian ingin menjadi seorang ibu rumah tangga yang berwawasan luas dalam mendidik anak dan berkeluarga, sebagian lagi tidak memaksakan diri harus ini atau itu tetapi lebih tergantung pada situasi yang ada.
Bagi perempuan yang memilih bekerja setelah sekolah atau mengenyam pendidikan tinggi, maka kemungkinan besar akan mendapat dukungan dari sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa sekolah atau pendidikan adalah untuk mencari pekerjaan. Selain itu pekerjan juga dianggap sebagai pemberi status, seperti yang dikemukakan oleh seorang wanita sebagai berikut: "Walau bermimpi menjadi ibu rumah tangga, saya ragu apakah orang masih memandang saya kalau berhenti bekerja. Pekerjaan memberi status," kata Deborah, 24editor (Kosmopolitan: 2000; 167).
Sementara bagi wanita yang memilih mendidik anak, keluarga atau bekerja di sektor informal di luar kantor, kemungkinan besar akan mendapat tantangan dari kelompok masyarakat yang menganggap sekolah adalah untuk mencari pekerjaan. Namun akan mendapat dukungan bagi mereka yang berpendapat bahwa ilmu adalah harta yang paling bernilai dan akan semakin bernilai jika diamalkan dalam ruang lingkup yang tak terbatas pada ruang kantor semata.
Ada kalanya seorang wanita benar-benar ingin menjadi ibu rumah tangga seratus persen dengan tujuan dapat lebih berkonsentrasi mengikuti perkembangan anak dengan bekal pendidikan yang dimiliki. Namun keinginan itu seringkali harus berhadapan dengan ‘keinginan’ masyarakat Indonesia secara umum, karena diakui atau tidak, ada perubahan nilai yang terjadi di masyarakat yaitu dari perempuan sebagai pengurus rumah tangga yang tidak memerlukan pendidikan tinggi menjadi perempuan yang (harus) sekolah untuk kelak juga bekerja (di kantor dan terpandang). "Buat apa sekolah susah-susah kalau cuma di rumah mengurus anak?!" Kurang lebih begitulah tanggapan yang akan didengar jika melihat seronag perrempuan bependidikan tinggi yang memilih menjadi ibu rumah tangga.
Perbedaan Persepsi
Gambaran dan fakta yang termuat diatas merupakan fenomena sosial sebagai salah satu dampak dari perubahan dalam masyarakat. Adanya perbedaan persepsi antara sebagian masyarakat (wanita) dan sebagian masyarakat lain (awam) terhadap pendidikan.


No comments:

Post a Comment

Kebahagiaan sejati bukanlah pada saat kita berhasil meraih apa yg kita perjuangkan, melainkan bagaimana kesuksesan kita itu memberi arti atau membahagiakan orang lain.