Pendidikan
Secara umum, sebagian orangtua di
Indonesia sudah mulai sadar akan pentingnya sekolah bagi putra dan putri
mereka. Namun apakah sebenarnya tujuan serta harapan para orangtua memberi
kesempatan putra dan putrinya bersekolah? Menjadi orang yang mandiri, pandai,
berwawasan luas, atau agar kelak bisa memimpin sebuah perusahaan raksasa,
bertitel sarjana, mengangkat status orangtua dan keluarga, atau...?
Bagaimana jika sang anak yang telah
susah payah disekolahkan telah lulus dengan nilai memuaskan, namun tidak
kunjung bekerja atau tidak bekerja sesuai dengan disiplin ilmu atau harapan
orangtua? Kemudian bila sang anak adalah perempuan, memilih bekerja di luar
kantor, atau murni menjadi ibu rumah tangga, bagaimana reaksi orangtua, juga
masyarakat?
Pembicaraan tentang laki-laki dan
pendidikan akan lebih jelas rangkaiannya, yaitu bekerja. Hal ini bukan berarti
meremehkan dinamika yang terjadi didalamnya, namun konsekuensi itu terlihat
lebih dominan dalam masyarakat.
Perempuan
Jumlah perempuan yang telah
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi pada masa sekarang, tentu lebih banyak
daripada masa 70-80 an. Seiring dengan terbukanya kesempatan itu, terbentang
pula harapan dan angan-angan yang mungkin diraih. Sebagian perempuan telah
bercita-cita bekerja di kantor dan meniti karir, sebagian tidak ingin terikat
oleh ruang dan waktu di belakang meja, sebagian ingin menjadi seorang ibu rumah
tangga yang berwawasan luas dalam mendidik anak dan berkeluarga, sebagian lagi
tidak memaksakan diri harus ini atau itu tetapi lebih tergantung pada situasi
yang ada.
Bagi perempuan yang memilih bekerja
setelah sekolah atau mengenyam pendidikan tinggi, maka kemungkinan besar akan
mendapat dukungan dari sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa sekolah atau
pendidikan adalah untuk mencari pekerjaan. Selain itu pekerjan juga dianggap
sebagai pemberi status, seperti yang dikemukakan oleh seorang wanita sebagai
berikut: "Walau bermimpi menjadi ibu rumah tangga, saya ragu apakah
orang masih memandang saya kalau berhenti bekerja. Pekerjaan memberi
status," kata Deborah, 24editor (Kosmopolitan: 2000; 167).
Sementara bagi wanita yang memilih
mendidik anak, keluarga atau bekerja di sektor informal di luar kantor,
kemungkinan besar akan mendapat tantangan dari kelompok masyarakat yang
menganggap sekolah adalah untuk mencari pekerjaan. Namun akan mendapat dukungan
bagi mereka yang berpendapat bahwa ilmu adalah harta yang paling bernilai dan
akan semakin bernilai jika diamalkan dalam ruang lingkup yang tak terbatas pada
ruang kantor semata.
Ada kalanya seorang wanita
benar-benar ingin menjadi ibu rumah tangga seratus persen dengan tujuan dapat
lebih berkonsentrasi mengikuti perkembangan anak dengan bekal pendidikan yang
dimiliki. Namun keinginan itu seringkali harus berhadapan dengan
‘keinginan’ masyarakat Indonesia secara umum, karena diakui atau tidak, ada
perubahan nilai yang terjadi di masyarakat yaitu dari perempuan sebagai pengurus
rumah tangga yang tidak memerlukan pendidikan tinggi menjadi perempuan yang
(harus) sekolah untuk kelak juga bekerja (di kantor dan terpandang). "Buat
apa sekolah susah-susah kalau cuma di rumah mengurus anak?!" Kurang
lebih begitulah tanggapan yang akan didengar jika melihat seronag perrempuan
bependidikan tinggi yang memilih menjadi ibu rumah tangga.
Perbedaan Persepsi
Gambaran dan fakta yang termuat
diatas merupakan fenomena sosial sebagai salah satu dampak dari perubahan dalam
masyarakat. Adanya perbedaan persepsi antara sebagian masyarakat (wanita) dan
sebagian masyarakat lain (awam) terhadap pendidikan.
No comments:
Post a Comment