Monday, March 18, 2013

Empat Prinsip Membangun Sistem Dalam Perusahaan


Definisi & Fungsi
Soal membangun sistem ini kerapkali menjadi topik utama dalam pembicaraan tentang organisasi. Orang sering membicarakannya tak hanya di forum resmi, seperti seminar, internal meeting, training, workshop, dan seterusnya. Tetapi juga di tempat-tempat di mana ada pertemuan atau perjumpaan bisa dilakukan. Mungkin seperti di pinggir jalan, di tempat makan, atau di kawasan toilet. Dimanapun dibahas, intinya sama: membangun sistem ini merupakan persoalan vital dalam organisasi.
Kalau merujuk pada pengertian dasarnya, membangun sistem berarti membentuk interaksi secara reguler atau mengusahakan kesaling-bergantungan antargroup atau item supaya menjadi kesatuan yang menyeluruh untuk bekerja mewujudkan tujuan yang diinginkan. Sistem kerja di organisasi itu sama seperti sistem yang bekerja pada mesin kendaraan. Agar kendaraan bisa bekerja sesuai dengan yang kita inginkan, sistem harus aktif. Jika ada salah satu item atau elemen yang tidak bekerja-menyatu pada sistem, pasti kendaraan itu jalannya tidak seperti yang kita inginkan. Pasti akan terasa "there is something less or wrong".
Ketika konteksnya adalah organisasi manusia, maka sistem di sini punya fungsi antara lain:
1. Membentuk perilaku individu dalam organisasi
Perilaku individu tak cukup dibentuk dengan pengetahuan. Seandainya itu cukup, pasti semua individu dalam perusahaan akan berperilaku sama. Mengapa? Karena semua orang (kecuali sebagian kecil) sudah tahu apa yang baik, apa yang benar dan apa yang bermanfaat untuk dilakukan. Tetapi prakteknya tidak begitu. Artinya, diperlukan sistem yang bekerja untuk membantu individu menjalankan apa yang sudah diketahuinya supaya sejalan dengan visi-misi organisasi.
2. Membentuk standar kualitas operasi organisasi
Kita pasti sepakat bahwa pelaku usaha di dunia ini sudah tahu kalau keuntungan / profit itu dihasilkan dari benefit yang diberikan kepada pelanggan atau pembeli. Agar benefit yang diberikan itu berkualitas, tidak asal-asalan apalagi merugikan, dibutuhkan sistem kerja yang sudah terstandar. Lemahnya sistem kerap membuat suatu usaha itu tidak sanggup memberikan benefit kepada pelanggan, meski semua orang di situ sudah tahu kalau profit itu didatangkan dari benefit. Sistem di sini berfungsi untuk men-stadar-kan benefit yang harus diberikan kepada pelanggan atau pembeli berdasarkan kualifikasinya masing-masing.
3. Menentukan standar kualitas orang.
Ketika saya masih bekerja di perusahaan pariwisata dulu, kerap saya mendengar penilaian umum yang diberikan kepada orang-orang tertentu yang keluar dari perusahaan tertentu. Mereka menilai, orang-orang yang sudah pernah bekerja di perusahaan A beberapa tahun dianggap sudah menguasai sekian keahlian. Dengan begitu, harganya mahal kalau pengalamannya digunakan untuk bekerja di tempat lain. Artinya, karena perusahaan A ini punya sistem yang sudah lebih bagus dari yang lain, sehingga orang-orang yang bekerja di situ tak hanya mendapatkan imbalan uang semata, tetapi juga mendapatkan standar kualitas tertentu yang berharga. Di sini, organisasi memainkan sedikitnya dua hal: a) menjadi lahan untuk mencari uang, dan b) menjadi lahan pendidikan (self-education). Fakta ini juga dapat kita jumpai pada sekolah atau lembaga tertentu. Yang membuat sekolah itu beda dalam penilaian orang lain terkadang bukan materi pelajarannya tetapi sistem yang diterapkan di sekolah itu.
Ketiga hal di atas barulah sebatas sebagian dari sekian fungsi sistem dalam organisasi. Intinya, memiliki sistem kerja yang bekerja (the system that works) adalah dambaan bagi semua pemimpin organisasi.
Empat Prinsip
 
Ketika saya katakan prinsip berarti ini bukan strategi yang bisa dipilih antara: dijalankan atau diabaikan. Prinsip hanya menyediakan satu pilihan yang terangkum dalam Hukum Sebab-Akibat. Kalau kita memilih menjalankan, akibatnya adalah mendapatkan (hasil, pahala, dst). Kalau kita memilih mengabaikan, akibatnya adalah tidak mendapatkan. Cuma itu pilihannya. Tak ada tawar menawar atau pilihan. Prinsip adalah terjemahan dari hukum-hukum Tuhan yang sudah baku di dunia ini. Bahasa atau istilah untuk menyebutnya bisa bermacam-macam, tetapi esensinya tetap itu-itu juga.
Dari sekian seminar atau diskusi yang saya hadiri, entah dengan para pengamat, pakar SDM atau praktisi SDM, saya ingin memilih istilah-istilah tertentu untuk sekedar menjelaskan hukum Tuhan di atas. Pemilihan istilah itu saya maksudkan: a) hanya untuk sekedar mudah diingat saja, dan b) referensi bagi siapapun yang berkepentingan untuk menciptakan budaya, menciptakan sisitem dalam sebuah organisasi apapun. Istilah-istilah yang saya katakan prinsip itu adalah:
1. Komitmen
Komitmen yang saya maksudkan di sini adalah bentuk nyata dari sebuah kesungguhan, dari mulai level menggagas sampai level menjalankan, from the world of word to the world of action, dari konsep ke praktek. Sebagus apapun desain rencana atau strategi yang kita rumuskan untuk membangun sistem, akan sia-sia kalau komitmen ini hilang. Anda bisa mengganti istilah yang saya pilih ini menjadi apa saja, tetapi ketika bicara membangun sistem, tak mungkin Anda bisa menghilangkan esensi kalimat kesungguhan di sini. Kesungguhan yang dibuktikan oleh atasan akan menjadi teladan bagi yang lain. Teladan bukan salah satu cara mendidikan orang tetapi satu-satunya. Kesungguhan yang dilakukan oleh bawahan akan memperkuat komitmen atasan. Kesungguhan yang dijalankan oleh atasan dan bawahan akan membentuk sistem.
2. Kelayakan untuk dipercaya (credibility)
Untuk membangun sistem dibutuhkan kehadiran orang yang kredibel menurut sistem yang dibangunnya. Membangun sistem kerja dibutuhkan orang yang ahli di bidang itu. Membangun sistem usaha dibutuhkan orang yang ahli di bidang itu. Membangun sistem keluarga dibutuhkan orang yang ahli atau tahu banyak dan punya pengalaman banyak di bidang itu. Sepertinya tidak ada sebuah sistem yang berhasil dibangun oleh orang yang memang kurang kredibel.
Kredibilitas yang saya maksudkan di sini bukan saja kredibel dalam hal keahlian profesional saja, tetapi juga kredibel dalam pengertian kekuatan moral-spiritual, seperti misalnya kejujuran, ke-amanah-an, ketaatan, dan lain-lain. Abraham Lincoln berkesimpulan, tak ada yang bisa dibangun di atas pondasi pelanggaran. Bahkan, seperti yang dibuktikan praktek hidup, kalau pun ada, itu sifatnya hanya sementara, bagai busa yang cepat menghilang. Meminjam istilah Ronggowarsito, biarpun kelihatannya bejo (safe), tetapi akan berakhir dengan celoko atau molo (danger and damage).
3. Komunikasi
Membangun sistem juga membutuhkan kemampuan berkomunikasi. Komunikasi yang saya maksudkan di sini adalah menyampaikan pesan kepada orang lain (the meaning) tentang ide-ide yang menyangkut sistem itu. Adapun tehniknya bisa bermacem-macam, tergantung yang kita pilih, tergantung keadaan, atau tergantung lingkungan. Dalam organisasi, tak mungkin ada orang yang sanggup membangun sistem sendirian. Dan lagi, yang namanya sistem itu pasti menyangkut orang lain. Hubungan kita dengan orang lain menjadi aktif karena komunikasi, entah dalam bentuk apapun.
4. Kecerdasan
Prinsip terakhir adalah kecerdasan. Membangun sistem membutuhkan kecerdasan. Meminjam pengertian yang dimunculkan oleh Howard Gardner dalam "Multiple Intelligence", kecerdasan di sini berarti kemampuan memecahkan masalah di lapangan dengan cara-cara, tehnik-tehnik, atau strategi-strategi yang selalu lebih baik. Ini berarti mencakup kreativitas, menambah pengetahuan, menambah keahlian, kesadaran menghilangkan kebodohan, kesadaran mengurangi kelemahan, belajar tentang bagaimana belajar, dan lain-lain.
Mengapa kecerdasan juga prinsip? Salah satau alasannya adalah, tidak ada orang yang langsung punya komitmen kuat, tidak ada orang yang langsung punya kredibilitas tinggi, tidak ada orang yang punya kemampuan komunikasi yang canggih, dan juga, tidak ada sistem yang langsung solid begitu hendak dibangun. Semua itu, menurut Hukum Tuhannya diperoleh dengan cara mengasah kecerdasan. Kata Ratu Elizabeth (secara simbolik): "Butuh tetesan keringan (sweat), butuh tetesan air mata (tears), dan butuh tetesan darah (blood)."
Masalah di lapangan
 
Berdasarkan keempat prinsip di atas, ada beberapa masalah yang kerap kita jumpai di lapangan. Masalah inilah yang sering mengakibatkan usaha kita untuk membangun sistem gagal di tengah jalan. Masalah itu pasti banyak dan sebagiannya kira-kira bisa kita ambil contoh seperti berikut ini:
1. Hanya pernyataan belaka.
Semua pemimpin dan anggota organisasi berkepentingan untuk membangun sistem. Tetapi kepentingan untuk membangun ini baru diwujudkan ke dalam apa yang saya sebut dengan pernyataan. Misalnya saja: pernyataan mulut, pernyataan tulisan (konsep, rencana, pokok-pokok pikiran, dst), penyataan keinginan (harapan, himbauan, hasrat, kritik, dst).
Semua orang akan sepakat dengan saya bahwa pernyataan seperti di atas tidak bisa diandalkan untuk membangun sistem. Benar, bahwa membangun sistem perlu diawali dengan rumusan yang matang tetapi sejauh apapun rumusan itu dibuat, tetap saja harus diakhir dengan pembuktian (action) sebagai awal dari proses menuju realisasi.
2. Lemah Karakter
Lemahnya karakter moral dan mental yang kita miliki, akan menjadi masalah sendiri. Seperti yang sudah kita bahas di muka, membangun sistem membutuhkan kepercayaan dari orang lain. Agar orang lain bisa trust, dibutuhkan kredibilitas. Kredibilitas ini tentu tidak bisa didapatkan dari khayalan. Kredibilitas moral didapatkan dari usaha kita untuk memperkuat karakter moral. Kredibilitas profesional didapatkan dari usaha kita untuk memperkuat karakter mental (kemauan menambah pengetahuan, pengalaman, dan keahlian).
Dari dua karakter inilah yang kemudian menyebar ke power, posisi, kepemilikan, reward, dan lain-lain. Bahkan kalau dilihat dari praktek hidup, keduanya tidak bisa dipisahkan. Jika seseorang hanya ahli saja tetapi moralnya rusak atau minus, kepercayaan orang lain masih kurang. Sebaliknya, jika seseorang hanya bermoral saja, soleh saja, atau baik saja, tetapi keahliannya minus atau rendah, kepercayaan orang lain juga masih kurang.
3. Me-mekanis-kan hubungan
Seperti yang sudah kita bahas di muka, membangun sistem butuh komunikasi dengan manusia lain dalam pengertian yang luas. Atau bisa dipendekkan dengan istilah menjalin hubungan. Ketika konteksnya adalah membangun sistem, hubungan manusia ini tidak bisa di-mekanis-kan seperti kita menjalin hubungan dengan mesin. Mesin itu, apapun namanya, hanya punya dua kendali prinsip: on dan off (diaktifkan atau dimatikan). Artinya tidak ada mesin yang punya inisiatif sendiri untuk mengaktifkan dirinya atau mematikan dirinya.
Ini akan berbeda dua ratus derajat dengan manusia. Manusia bisa di-on-kan oleh perintah dan bisa di-off-kan dengan larangan tetapi juga punya inisitif, kepentingan dan punya keadaan spesifik yang sifatnya "sendiri". Karena itu, tidak bisa kita mengajak orang lain untuk terlibat dalam usaha membangun sistem dengan menggunakan pendekatan seperti kita memperlakukan mesin. Artinya, dibutuhkan berbagai macam strategi, tehnis, cara atau metode untuk berkomunikasi dengan orang lain. Tidak hanya one-off atau one on-off.
4. Salah memahami problem
What is the problem? Menurut definisi yang sudah dibakukan oleh teori manajemen, problem adalah penyimpangan yang muncul (deviasi). Dalam teori, pasti tidak ada orang yang tidak tahu atau tidak ada orang yang tidak bisa memehamai definisi itu. Semua orang akan tahu dan bisa dipahamkan tentang what is the problem.
Tetapi akan lain ketika kita bicara bagaimana problem itu dipahami dalam praktek. Gagalnya proses membangun sistem karena kurang bisa memahami definisi problem dalam praktek. Seperti apakah problem itu harus dipahami dalam praktek? Problem adalah penyimpangan dan penyimpangan yang muncul adalah akibat dari usaha, melakukan sesuatu atau menjalani proses pembuktian. Begitu penyimpangan muncul, timbullah tanda tanya. Tanda tanya inilah yang mendorong kita untuk menemukan solusi. Solusi yang kita temukan berdasarkan problem inilah yang menghasilkan perbaikan demi perbaikan.
Belajar dari pengalaman para pengusaha yang pernah diwawancarai oeh Harvard Business School, problem dalam pengertian seperti di atas akan sangat berguna dalam proses pengambilan keputusan usaha atau bisnis. Dengan mengacu pada problem ini, maka keputusan dan solusi menjadi tepat sasaran atau sesuai dengan kebutuhan keadaan. Di sinilah kecerdasan kita akan terasah berdasarkan keadaan kita, bukan keadaan orang lain atau organisasi lain.
Kebanyakan kita belum melakukan sesuatu secara optimal, tiba-tiba merasa punya problem. Itupun terkesan "didramatisir" seolah-olah problem itu sebesar gunung akan meletus atau sepanjang Tembok Cina yang tak mungkin ditembus. Berdasarkan praduga perasaan ini, kita lantas mendatangkan solusi dengan cara: menambah fasilitas, menciptakan kondisi, menciptakan lingkungan (environment-ing), membuat peraturan yang aneh-aneh (en-ruling), dan lain-lain. Akhirnya, banyak fasilitas yang tidak terpakai, banyak peraturan yang berubah menjadi dokumen lusuh, dan kecerdasan kita tidak terlatih secara bertahap.


No comments:

Post a Comment

Kebahagiaan sejati bukanlah pada saat kita berhasil meraih apa yg kita perjuangkan, melainkan bagaimana kesuksesan kita itu memberi arti atau membahagiakan orang lain.